BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur adalah
hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial
adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal,
temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.
Fraktur maksilofasial
lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari luar
seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga
dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama perawatan fraktur
maksilofasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu penyembuhan
tulang yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung,
perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi
estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya
mobilitas segmen tulang.
Wajah dapat dibagi
menjadi tiga daerah (sub-unit), setiap daerah memiliki kegunaan yang
berbeda-beda. Sub-unit paling atas terdiri dari tulang frontal yang secara
prinsip berfungsi berfungsi sebagai pelindung otak bagian lobus anterior tetapi
juga sebagai pembentuk atap mata. Sub-unit bagian tengah wajah memiliki
struktur yang sangat berbeda, dengan ciri struktur dengan integritas yang
rendah dan disatukan oleh kerangka tulang yang terdiri dari pilar-pilar atau
penopang. Pilar-pilar ini disebut juga buttresses yang terdiri dari pilar
frontonasal maksila pada anteromedial, zigomatiko-maksila sebagai pilar lateral
dan procesus pterigoid sebagai pilar posterior. Sub-unit bagian bawah adalah mandibula.
Bagian ini memilki struktur integritas yang paling baiksebagai konsekuensi dari
fungsinya dan berhubungan dengan perlekaan otot-otot. Masalah yang paling
spesifik pada fraktur mandibula dihubungkan dengan fraktur midfasial adalah
peranan mandibula untuk mengembalikan lebar wajah secara tepat.
Manson yang
dikutip oleh Mahon dkk (4) menggambarkan fraktur panfasial dengan membagi
daerah wajah menjadi dua bagian yang dibatasi oleh garis fraktur Le Fort I.
Setengah wajah bagian bawah dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah oklusal yang
terdiri dari prosesus alveolaris maksila dan mandibula serta tulang palatum dan
bagian bawah terdiri dari vertikal ramus dan horisontal basal mandibula.
Setengah wajah bagian atas terdiri dari tulang frontal dan daerah midfasial.
Sutura palatina
memiliki struktur yang sama dengan sutura daerah kranial. Pearsson dan
Thilendar menemukan bahwa sinostosis pada sutura palatina akan terjadi pada
usia antara 15 dan 19 tahun, yang akan menyatukan segmen lateral palatal,
sehingga jika terjadi trauma akan menimbulkan fraktur para sagital yang
merupakan daerah tulang yang tipis. Seperti yang dikemukakan oleh Manson bahwa
fraktur sagital lebih sering terjadi pada individu yang lebih mugah sedangkan
fraktur para sagital lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Tulang mandibula merupakan daerah yang
paling sering mengalami gangguan penyembuhan frakturbaik itu malunion ataupun
ununion. Ada
beberapa faktor risiko yang secara specifik berhubungan dengan fraktur
mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinyamalunion ataupun
non-union. Faktor risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi
yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing,
tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang
berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai
gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan
perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung
mandibula.
Terjadinya gangguan bentuk lengkung pada
fraktur mandibula seringkali merupakan akibat dari reduksi yang kurang adekuat.
Kegagalan pada penyusunan kembali bentuk lengkung secara anatomis akan
menimbulkan keadaan prematur kontak dan gangguan fungsi pengunyahan. Kurang
tepatnya aposisi segmen fraktur ini merupakan akibat dari perawatan yang
terlambat ataupun fraktur yang tidak dilakukan perawatan. Pada beberapa kasus
untuk untuk membantu reduksi fraktur dilakukan pembuatan model studi
pra-operasi dan juga pembuatan model studi bedah.
BAB II
ISI
KLASIFIKASI :
Cedera tulang
a. Fraktura sepertiga atas muka
b. Fraktura sepertiga tengah muka
1. Fraktura hidung
2. Fraktura maksilari
LeFort I, fraktura maksilari transversa
LeFort II, fraktura piramidal
LeFort III, disjunksi kraniofasial
3. Fraktura zigomatika
4. Fraktura orbital
c. Fraktura sepertiga bawah muka
(fraktura mandibular)
Cedera Tulang
Fraktura sepertiga atas muka relatif kurang sering di banding duapertiga bawah, namun lebih mungkin bersamaan dengan cedera otak. Fragmen tulang harus direposisi dari pada dibuang, dan ekstirpasi sinus frontal harus di cegah sedapat mungkin.
Fraktura sepertiga tengah muka sering akibat cedera dashboard pada penderita yang tanpa pengaman pada mobil. Fraktura nasal paling sering dari semua fraktura fasial dan terbaik dideteksi secara klinis, tampilan foto sinar-x kurang layak pada cedera ini. Gambaran klinik antaranya perdarahan hidung, deviasi piramid nasal dan krepitasi pada palpasi. Walau fraktura nasal tanpa geseran tidak memerlukan reduksi, fraktura yang bergeser harus mendapatkan reduksi dan immobilisasi dengan bidai plester untuk seminggu. Kebanyakan kasus bereaksi atas reduksi tertutup, yang dilakukan satu hingga tiga minggu setelah cedera bila edema sudah berkurang dan besarnya pergeseran dapat ditaksir lebih tepat.
Fraktura maksilari klasifikasinya dibagi tiga pola oleh ahli Perancis LeFort 1901. Biasanya fraktura maksilari merupakan modifikasi atau kombinasi pola klasik. LeFort I adalah fraktura maksilari transversa yang sering akibat dari pukulan pada daerah diatas bibir. Bagian yang lepas terdiri dari proses alveolar, palatum, proses pterigoid. LeFort II adalah fraktura piramid akibat impak sedikit diatas tengah muka. Segmen maksila yang terisolasi berbentuk piramid. Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital dengan menggerakkan gigi atas kebelakang dan kedepan. LeFort III, atau disjunksi kraniofasial, merupakan separasi yang lengkap tulang fasial dari basis tengkorak. Fraktura maksilari ditindak dengan reduksi dan immobilisasi batang lengkung dan pemegang kawat dari arkus zigomatik atau tulang frontal. LeFort III memerlukan juga pengikatan pada sutura zigomatikofrontal.
Fraktura zigomatika urutan insidennya kedua setelah fraktura nasal. Fraktura zigomatika paling sering adalah depresi eminens malar dan disebut fraktura tripod. Fraktura biasanya ditemukan pada garis sutura zigomatikotemporal dan zigomatikofrontal serta pada foramen infraorbital. Tindakan berupa reduksi terbuka dan fiksasi interoseus internal pada dua dari tiga sisi fraktura. Cedera saraf infraorbital dengan baal diatas daerah pipi kadang-kadang terdapat pada fraktura ini.
Fraktura orbital dapat mengenai semua tulang yang membentuk dinding orbital, yaitu zigoma, maksilla, frontal, sfenoid dan ethmoid. Cedera paling sering adalah mengenai baik lantai maupun atap orbit. Mereka setipis kertas dan merupakan bagian paling rapuh dari orbit. Fraktura lantai orbital dapat bersamaan dengan fraktura depressed zigoma atau setelah suatu benturan pada bola mata, suatu fraktura 'blow-out' yang khas. Intervensi bedah segera dianjurkan, dan lantai orbit sering diperkuat dengan lembaran silastik saat operasi. Elevasi akut TIK, seperti yang terjadi pada pukulan yang hebat terhadap atap tengkorak, dapat berakibat robeknya atap orbital yang setipis kertas, baik uni maupun bilateral, suatu fraktura 'blow-in' yang khas.
Fraktura sepertiga bawah muka (fraktura mandibuler) menduduki frekuensi ketiga setelah hidung dan zigoma. Ia agak diperrumit oleh tarikan otot yang melekat padanya. Fraktura mandibular unilateral yang tak bergeser biasanya ditindak dengan fiksasi intermaksillari dengan gigi dioklusi memakai batang lengkung. Fraktura yang lebih rumit memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi interosseus.
II.1FRAKTUR RAHANG BAWAH
Klasifikasi :
1. “ Simple Fracture”
Yaitu fraktura yang sederhana seperti fraktura kondilus, prosessus koronoidues.
2. “Compound Fracture”
Yaitu fraktura yang terdapat pada beberap rahang dan dapat
terjadi laserasi
3. “Communited Fracture”
Yaitu fraktura yang terjadi karena
trauma yang hebat atau benda-benda tajam yang masuk ke rahang yang menyebabkan
rahang tersebut pecah atau patah kecil-kecil (remuk).
4. “Phatological Fracture”
Yaitu fraktura yang terjadi karena
adanya penyakit pada tulang rahang bawah
seperti osteomyelitis, kista, ameloblastoma, dan lain-lain.
5. “Greenstick Fracture”
Yaitu fraktur sederhana yang dijumpai
pada anak-anak.
Untuk suatu keperluan diagnosa dan perawatan,
maka cukup dilakukan beberapa klasifikasi sebagai berikut :
1. Fraktura Unilateral
Merupakan fraktur satu sisi pada mandibula, pada
umumnya tunggal. Tetapi kadang-kadang lebih dari satu dan jika terjadi biasanya
dengan pergeseran yang besar daripada fragmen.
Tipe-tipe fraktur yang dapat terjadi:
a. Dento-alveolar
b. Condylar
c. Coronoid
d. Ramus
e. Angulus
f. Corpus
g. Midline/samping
h. Lateral ke midline dalam area incisor
2. Fraktura Bilateral
Fraktura dua sisi dari mandibulla,
kemungkinan yang sama dapat terjadi seperti pada fraktura unilateral. Daerah
yang selalu mengalami fraktura bilateral misalnya :
-
Leher
prosessus condyloideus dengan angulus mandibularis pada sisi lawannya.
-
Regio caninus
dengan angulus mandibularis pada sisi lawannnya.
3. Fraktura Multipel
Disini terjadi fraktura di beberapa
tempat, fraktura multipel yang sering terjadi ialah “triple frakture” yang
terjadi daripertengahan rahang bawah (mentum) dengan fraktur kedua leher
prosessus condyloideus yang terjadi bila pasien jatuh kujat pada daerah dagu,
pada umumnya terjadi karena tiba-tiba hilangnya kesadaran.
Etiologi
Kebanyakan fraktura yang terjadi pada rahang bawah
disebabkan oleh karena trauma langsung terhadap rahang.
Pemeriksaan Klinis
1. Pemeriksaan umum daripada pasien
kadang-kadang trauma ini juga
menyebabkan injury pada daerah tubuh lain seperti dapat terjadinya cerebral haemorrhage, rupturnya spleen,
rupturnya mesenteric arteries, haemothorax, rupturnya ginjal dan frakturtulang
yang lain.
2. Pemeriksaan lokal daripada fraktura mandibulla
Sebelum kita memeriksa daerah fraktur
pada rahang bawah, maka wajah harus dibersihkan dengan baik dengan air hangat
untuk membuang gumpalan darah, kotoran jalan dan lain-lain untuk dapat
memeriksa sebaik-baiknya jaringan yang laserasi atau echymosis. Rongga milut
diperiksa apkah ada gigi yang patah, atau hilang. Juga diperiksa dari darah,
diperiksa apkah ada gigi palsu yang patah dan kalau ada yang patah apakah ada
yang masuk ke kerongkongan. Setelah pembersihan wajah dilakukan, lalu kepala da
leher diperiksa dengan hati-hati
Ekstra Oral
Inspeksi :
Diatas daerah fraktura biasanya terjadi echymosis
dan pembengkakkan.
Palpasi:
Palpasi dengan hati-hati dengan ujung jari diatas
regio condylar kanan dan kiri dan dilanjutkan ke bawah sepanjang rahang bawah.
Intra Oral
Inspeksi :
Jika ada gigi yang patah atau gigi palsu, harus
dikelurkan dari mulut. Periksa apakah daerah sulcus bukalis dan lingualis
terdapat echymosis atau hematom. Kemudian periksa occlusal plane atau alveolar
ridgenya. Gigi yang fraktur, luksasi atau subluksasi dicatat. Jika ada bagian
yang hilang maka dibuatkan foto dada.
Palpasi :
Periksa pada daerah sulcus bukalis dan lingualis.
Daerah yang diduga fraktur diperiksa dengan ibu jari dan telunjuk
Tanda-tanda, simptom dan antomi pembedahan
dari fraktur mandibula menurut sisi fraktur
Fraktur
mandibula dapat dibagi menurut lokalisasi anatominya dalam 8 tipe pokok yaitu :
a. Dento-alveolar
b. Condylar
c. Coronoid
d. Ramus
e. Angulus mandibula
f.
Body (molar dan premolar area) corpus
g.
Midline
h.
Lateral ke midline dalam area insisivus
a.
Faktor dento alveolar
Dento-alveolar injury biasanya diikuti dengan hilangnya
gigi, masuknya gigi ke dalam rahang atau fraktur dari gigi dengan tanpa fraktur
alveolar dan dapat terjadi sendiri atau bersama dengan tipe fraktur rahang
bawah lain.
Kerusakan gigi
Hal yang
sering terjadi pada trauma rahang adalah kerusakan mahkota gigi dengan atau
tanpa terbukanya pulpa. Fraktur dari akar gigi dapat juga terjadi. Subruksasi
dari satu atau lebih gigi menjurus menjadi goyah dan pergeseran yang
menyebabkan gangguan pada oklusi.
Fraktur alveolar
Fraktur
alveolar dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan gigi. Dapat dalam bentuk
yang remuk, tetapi umumnya dalam bentuk fragmen alveolar yang sederhana.
Pemeriksaan klinis pada fraktur dento alveolar :
Inspeksi : Kemungkinan
adanya lika pada bibir dan umumnya terjadi oedema.
Palpasi : Palpasi yang hati-hati pada bibir digunakan
untuk merasakan apakah ada benda/gigi di dalam jaringan tersebut. Palpasi pada
alveolus dapat merasakan bentuk perubahan bentuk tulang-tulang.
b. Fraktur condylar
Merupakan salah satu fraktur yang sering terjadi pada rahang
bawah. Fraktur condylus dapat diklasifikasikan sebagai ”intra capsilar dan
ekstra capsular” dan unilateral atau bilateral.
Fraktur intra capsular jarang terjadi, tetapi fraktur ekstra
capsular pada leher condylus sering dijumpai. Ekstra capsular fraktur dapat
terjadi dengan atau tanpa adanya dislokasi pada kepala condylus dan fragmen
bagian atas dapat mengalami pergesaran ke arah bukal atau lingual.
Fraktur condylar unilateral
Inspeksi : Pada inspeksi ekstra
oral terlihat adanya pembengkakan di sekitar persendian rahang dan mungkin
disertai dengan pendarahan dari kuping pada sisi yang terkena.
Palpasi : Palpasi pada pasien yang mengalami luka baru,
akan memperlihatkan kelembutan pada daerah condylar.
Inspeksi intra Oral
Akan terlihat penyimpangan oklusi ke arah sisi fraktur dan ini
terutama nyata terlihat bila pasien membuka mulutnya. Jika pergerakan rahang
bawah di coba ke lateral ke arah sisi fraktur, akan dapat berhasil tanpa banyak
gangguan. Tetapi gerakan terhadap sisi lawannya hanya dapat sedikit saja dan
terasa sakit. Pergerakan rahang bawah ke depan adalah sedikit dan terasa sakit.
Fraktur condylar bilateral
Inspeksi : Pemeriksaan intra oral pada fraktur condylar bilateral dapat dibagi
dalam dua grup besar yakni : 1. oklusi tidak kacau (baik) tidak terjadi
dislokasi. 2. dengan anterior open bite
Perawatan yang khusus dan lama dibutuhkan untuk group open
bite. Dalam kedua variasi tersebut terdapat rasa sakit dan terbatasnya
pembukaan mulut pada percobaan gerakan lateral atau protrusi dari mandibula.
Fraktur condylar bilateral sering berhubungan dengan midline fraktur pada
mandibula dan area shympisis/mentalis pada mandibula harus diperiksa hati-hati.
c. Fraktur Processus coronoideus
Merupakan fraktur yamg jarang terjadi, dan bila fragmen
tersebut lepas maka akan tertarik ke atas ke fossa infra temporalis oleh m.
Temporalis. Processus coronoideus kadang-kadang dapat patah selama operasi
berlangsung misalnya pada operasi kista yang besar pada ramus atau pengambilan
gigi impaksi molar 3 mandibula dengan posisi yang menyimpang.
Hal ini sukar untuk diagnosa
pada pemeriksaan klinis tetapi pada intra oral mungkin terdapat ecchymosis pada
daerah tersebut dan terasa lunak pada palpasi di atas regio tersebut. Pada
daerah tersebut mungkin terasa sakit dan terdapat pergerakan yang minimal pada
rahang bawah terutama pada pergerakan ke depan.
d. Fraktur Ramus Mandibularis
Fraktur yang terbatas pada
regio ramus dapat dibagai 2 tipe:
1. Fraktur tunggal yang menyilang ramus.
Dapat juga dipandang sebagai
ekstra kapsular kondilar, kepalanya terletak di atas fragmen.
2. Comminuted Fraktur dari Ramus
Fragmen dari fraktur seperti
ini biasanya tertahan diantara m.masetter dan m.pterygoideus internus dan hanya
sedikit perubahan letak yang terjadi, kecuali oleh trauma yang keras.
Pemeriksaan klinis
Pada inspeksi extraoral dan
intra oral kadang-kadang terjadi pembengkakan dan ecchymosis. Palpasi pada
daerah tersebut (ramus) terasa lunak, baik pada extra dan intra oral.
Pergerakan rahang bawah, menyebabkan rasa sakit pada daerah tersebut dijumpai
dis oklusi keterbatasan membuka mulut.
Pergeseran dari fragmen
pada fraktur angulus dan corpus mandibula.
Pergeseran
fragmen tulang ini tergantung pada sisi fraktur, arah garis fraktur pada tulang
dan tarikan pada perlekatan muskulus pada fragmen.
e. Fraktura Angulus Mandibularis
Sesudah fraktur
leher condylus, maka fraktur angulus mandibula menduduki posisi kedua, pada kasus-kasus fraktur rahang
bawah. Pergeseran disini disebabkan oleh tarikan pada m. Masseter dan m.
Pterygoideus eksternus, besarnya pergeseran tergantung arah pada garis fraktur
yang melalui tulang. Jika arah garis fraktur vertikal menyokong aksi yang tidak
dihalang-halangi pada internal pterygoid, fragmen posterior akan didorong kelingual dan jika arah garis fraktur
horizontal akan menyokong aksi yang tidak dihalangi m. Masseter dan
pterygoideus externus ke arah atas maka fragmen bagian posterior akan bergeser
ke atas.
Terjadinya
pergeseran corpus mandibula dari fragmen dapat terjadi pada unilateral fraktur
dari rahang bawah pada daerah molar dan premolar. Serat-serat milohyoid pada
sisi lain pada garis fraktur sangat berperan dalam mengurangi terjadinya
pergeseran pada tipe fraktur ini.
g. Fraktur sympisis
Pada
fraktur ini terjadi pergeseran yang minimal, dan tarikan m.geniohyoid dan
genioglossus cenderung untuk menekan ujung fraktur. Kadang-kadang pergeseran
tersebut sangat kecil sekali sehingga tidak kelihatan. Pada pasien yang jatuh
dengan dagu lebih dahulu maka kita harus curiga adanya fraktur pada garis tengah
rahang bawah dan condylar.
h.
Lateral to midline in the
incisor region
Trauma pertama akan menyebabkan
terjadinya pergeseran. Daerah yang sering terkena adalah daerah caninus. Disini
sebagian akan terdesak dilingual.
Tanda-tanda dan symptom daripada fraktur angulus dan corpus
mandibula
Inspeksi : terdapat
perubahan bentuk yang jelas pada wajah dan terjadinya extra dan intra oral
oedema dengan atau tanpa laserasi jaringan lunak. Terjadinya jaringan oklusi
atau pergeseran alveolus pada pasien yang ompong.
Palpasi : terasa lembut pada regio fraktur dan
pergerakan yang tidak biasa terjadi pada penekanan yang perlahan-lahan
menyilang sisi fraktur. Jika n. Mandibularis terlibat maka terjadi parestesi
pada bibir sebelah bawah pada distribusi n. Mentalis.
Pergerakan : Pergerakan
rahang bawah menyebabkan rasa sakit dan terbatas.
Bilateral dan comminuted fraktur
1. Fraktur bilateral pada rahang bawah
Pada umunya pergeseran
terlihat lebih nyata dan ini terutama terlihat pada fraktur bilateral pada
batang rahang bawah. Dalam keadaan seperti itu tarikan pada otot-otot yang
melekat pada genital tuberkel cenderung membawa fragmen ke belakang yang dapat
menyebabkan bahaya penekanan jalannya lobang pernapasan, tetapi hal ini lebih
sering terjadi pada comminuted fraktur pada area mentalis. Pada beberapa kasus
arah garis fraktur yang terjadi pada tulang, akan merintangi pergeseran kearah
belakang pada fragmen anterior dan akan terletak miring disebabkan karena
tarikan muskulus yang melekat pada genial tuberkel. Dan sebagai akibatnya gigi
rahang bawah akan berpindah ke depan dan pada waktu menggigit berada disebalah
depan insisivus atas.
2. Comminuted fraktur
Dapat terjadi karena trauma
yang kuat atau oleh benda tajam mengenai tulang serta peluru senjata.
Communited fraktur pada arcus horizontalis menyebabkan banyak terjadi
pergeseran pada fragmen dan jika hal ini terjadi pada daerah dagu maka terjadi
pergeseran pada lidah yang menyebabkan gangguan jalannya pernapasan.
Radiologi
Diperlukan macam/cara
pengambilan seperti :
1. Oblique lateral kanan-kiri
2. Postero anterior
3. Peri apikal intra oral
4. Occlusal dan oblique occusal menyilang
garis fraktur
5. T.M.J
6. Tomogram pada kepala condylar
Perawatan Pendahuluan
- Pertolongan
pertama
Pasien dengan tipe fraktur pendarahan
bawah yang tidak berhubungan dengan keadaan lebih serius yang lain pada bagian tubuh, jarang memerlukan
pertolongan pertama.
Disini jarang terjadi shock
tidak terjadi pendarahan yang besar, tetapi kadang-kadang dengan fraktur
bilateral pada regio mentalis lidah cenderung tertarik ke belakang, dan hal ini
mengganggu pernapasan. Jadi harus di jaga agar lidah tidak terjatuh ke
belakang. Pemeriksaan mulut dilakukan dengan seksama dan tiap bagian pada gigi
palsu yang patah, gigi yang patah atau tulang, harus di ambil agar jangan
tertelan.
Untuk rasa sakit, pasien yang
sadar umumnya dapat menjaga agar tidak menggerakkan fragmen. Pemberian antibiotik diberikan secepat
mungkin dan kebersihan mulut harus di jaga.
- Laserasi
jaringan lunak
Jika terjadi laserasi, maka
harus sudah di tutup dalam tempo 24 jam untuk menghindari infeksi. Dan jika
operasi untuk reduksi dan immobilisasi fraktur ditunda, maka jaringan luka yang
mengalami laserasi di jahit.
Cara membersihkan luka yang
efektif adalah dengan bahan-bahan misalnya desinfektan seperti savlon,
betadine, atau perhydrol.
- Makanan
dan cairan
Diberikan makanan yang lunak,
kadang-kadang dengan bantuan keteter, cairan diberikan hingga pasien stabil
dalam jumlah cairan yang memuaskan.
- Sedasi/analgesik
Pasien dengan fraktur rahang
bawah biasanya tidak merasa sakit sekali dan pemberian sedasi tidak perlu
dilakukan. Harus diingat pemakaian analgesik kuat seperti morphine merupakan
kontra-indikasi karena akan menekan refleks batuk dan pusat pernapasan dan
menghilangkan rasa sakit yang tersembunyi (seperti rupturnya limpa atau
peritonitis).
Juga merupakan suatu resiko
pemberian sedatif berat /keras pada pasien dengan fraktura rahang bawah yang
hebat akan dapat menyebabkan kematian karena obstruksi jalan pernafasan yang
disebabkan karena lidah jatuh ke belakang atau darah yang masuk ke dalam
trakea.
- Transportasi
Adalah penting, bahwa pasien
dengan trauma maksilofasial yang hebat tidak diletakkan terlentang. Hal ini
dapat menyebabkan obstruksi jalan pernapasan dan mempercepat kematian pasien.
Hal ini terjadi terutama pada
kasus ”communited mandibular fracture”. Pasien seperti ini harus dibawa
tergelatak dalam posisi miring dengan lidah jatuh ke depan dan sekresi keluar
dari mulut.
Sebaiknya suatu alat penghisap
darah/saliva terdapat pada kendaraan tersebut.
PERAWATAN DEFINITIF PADA FRAKTURA RAMUS
DAN ARKUS MANDIBULA
Prinsip umum daripada perawatan fraktura
rahang bawah tidak banyak berbeda dengan fraktur dimana saja di dalam tubuh.
Fragmen dikembalikan pada posisi yang baik dan lakukan immobilisasi sehingga
suatu waktu terjadi persatuan tulang (bony union).
Reduksi (reposisi)
Reduksi
sebaiknya dengan anastesi umum, dan dapt juga dengan anastesi lokal atau
sedatif + analgesik dengan morphine.
Jika hanya terjadi pergeseran yang minimal, kadang-kadang reduksi dlakukan
tanpa anastesi.
Jika
gigi terdapat di daerah fragmen maka reduksi secara perlahan-lahan dapat
dilakukan dengan ”elastic traction”. Untuk hal ini, cap splint atau kawat
dipakai untuk menyatukan dengan baik gigi-gigi pada rahang bawah dan rahang
atas pada daerah fragmen dan ” mandibular maxillary elastic traction”
dipakaikan diantaranya.
Metode ini sangat populer, tetapi hal ini tidak
terlalu efektif dilakukan dengan anastesi umum.
Merupakan kenyataan jika gigi
dikembalikan ke posisi normal maka fragmen tulang akan bersambung dengan baik.
Reduksi yang baik akan dapat dilakukan bila ada gigi, tetapi hal ini akan lebih
sulit pada pasien yang ompong,kecuali dengan open reduction.
Reduksi terbuka
Adanya gigi pada garis fraktur
Jika
suplai darah terhadap pulpa mengalami kerusakan sebagai akibat daripada fraktur
rahang bawah maka hal ini akan dapat menyebabkan matinya pulpa. Infeksi dari
apeks gigi ini terhadap garis fraktur akan mengakibatkan terhalangnya
penyembuhandaripada rfraktur atau bahkan akan terjadi non-union. Jadi kalau
letak gigi di garis fraktur adalah jelek, maka gigi tersebut dicabut saja.
Fiksasi & Immobilisasi (membuat tidak
bergerak) istirahat
Setelah
dilakukan reduksi yang tepat maka fragmen tersebut harus difiksasi &
immobilisasi selama lebih kurang 5 minggu (pada pasien dewasa dalam kesehatan
yang baik tanpa infeksi pada daerah fraktur). Penyatuan daripada fragmen
terjadi lebih cepat pada anak-anak dan immobilisasinya antara 3 minggu sampai 1
bulan.
Orang tua, dan kasus fraktur dengan infeksi,
memerlukan waktu yang lebih panjang untuk immobilisasinya yaitu lebih kurang
6-7 minggu lamanya.
Pemilihan teknik immobilisasi
Sesudah
pemeriksaan keadaan umum dan pemeriksaan lokal pada fraktur maka kita sudah dapat
menetukan metode mana yang cocok dipakai.
Metode untuk fiksasi & immobilisasi fraktur rahang bawah :
1
Dental
Wiring :
a. Direct
b. Indiret
2
Arch
bar
3
Siver-copper
alloy cap splints
4
Gunning
type splint
5
Transosseus
wiring
a. Upper border wiring
b. Lower border wiring
6
External
pin fixation
7
Bone
clamps
8
Bone
plating
9
Trans
fixation dengan steinmann pins atau kirschner wires
1
Dental Wiring
Dalam hal ini tentunya jika
pasien masih mempunyai gigi yang lengkap dan baik. Kawat yang sering dipakai
ialah ”stainless-steel” dengan diameter: 0,35 mm
a. Direct wiring
Kawat dililitkan 2 kali pada
gigi, kemudian baru diputar kedua ujungnya hingga bersatu. Ujung putiran
sebelah atas kemudian disatukan dengan yang bawah. Demikianlah seterusnya untuk
seluruh gigi yang dianggap perlu.
2
Arch Bar
Bar yang dipakai adalah bar
yang sudah disiapkan oleh pabrik. Banyak macam-macamnya seperti yang dibuat
oleh winter, Jalenko,Schuchardt dan lain-lain. Bar ini ada yang kaku dan ada
yang lunak bar diikatkan kegigi pada rahang atas dan rahang bawah dengan kawat.
Kemudian rahang atas dan bawah dioklusikan dan diikat pula (inter maxillary
wiring).
3
Cap Splints
Disini kita harus lebih dahulu
memeriksa model untuk cast. Pasien dicetak lebih dahulu. Pada cetakan dibuat
cap metal (oleh tekhniker) cap dibuat
sebaian lain pada fragmen sebelahnya. Untuk menghubungkannya dibuatkan dengan memakai skrup. Untuk merapatkan
rahang atas dan rahang bawah dipakai karet traksi.
4
Modifikasi gunning-type splints
Tehnik ini dipakai jika
pasientidak bergigi pada satu atau kedua rahangnya.jika pasien ompong pada
rahang atas atau rahang bawah maka fiksasi dan immobilisasi dilakukan dengan
gunning type splint dengan pengikatan per alveolar wires pada rahang atas dan
circumferensial pada rahang bawah dan kemudian dihubungkan dengan
mandibular-maxillary fixation dengan karet traksi.
5
Tranosseus Wiring
Adalah suatu metode yang
efektif untuk immobilisasi dan fiksasi fraktur rahang bawah. Tulang dilobangi
dengan bur pada kedua ujung dari fragmen dan sesudah reduksi kita masukkan
wires stailess-steeldengan diameter 0,5 mm ke dalam lobang yang sudah dibuat,
kemudian kedua ujungnya diikat.
Cara ini sangat cocok untuk
fraktur rahang bawah pada pasien yang ompong. Yang perlu diperhatikan ialah
tidak terjadi inflamasi pada fraktur tersebut. Jika transosseus wire
dimasukkanpada daerah yang infeksi akan mengakibatkan resiko terjadinya
nekrosis pada kedua ujung tulang. Metode ini dapat dipakai untuk semua fraktur
rahang bawah. (lihat gambar).
6
Extra-oral pin fixation
Cara ini jarang dipakai untuk perawatan
tipe fraktur rahang bawah. Caranya yaiu menancapkan ke dalam fragmen
stainless-steel pin (3mm) pada tiap sisi fraktur. Kedua pin dihubungkan dengan
suatu cross-bar dan dapat distel.
Dalam hal ini kadang-kadang mandibular-maxillary
fixation masih dibutuhkan. Elektric action dapat terjadi pada pin fixation dan
hal ini dapat menyebabkan terjadinya ring sequester pada tulang dan ulserasi
pada kulit dimana pin ditancapkan. Perwatan ini harus diliakukuan di rumah
sakit. Bila perewatan pada fraktur yang infeksi dengan cara transosseus wiring
tidak dapat dilakukan, maka cara extra oral pin fixation ini sangat menolong.
7. Bone
Clamps
Disini caranya hampir sama dengan di atas
dan juga memakai pin yang ditancapkan.
8. Bone plating
Dengan cara ini pasien dapat
lebih senang terhadap makan dan mengurangi masa perawatan. Kekurangannya
pekerjaan dari luar dan tentunya akan meninggalkan cacat atau jaringan perut
dan kulit. Plat tersebut adalah “vitallium metacarpal bone plate” yang
panjangnya bermacam-macam dan mempunyai
4 lobang dan vitallium skrup. Ada juga ostoeosynthese, bahkan ada juga yang
mempunyai kompressi. Merek osteo, Synthes dan lain-lain.
9.
Transfixation
Perawatan fraktur pada daerah
symphysis dapat juga dirawat dengan cara ini yaitu dengan menanam Steinman pin
atau Kirschner wire melalui fragmen.
Perawatan
pasca bedah
Perawatan
pasca bedah pada fraktur rahang bawah dapat dibagi dalam 3 fase yaitu :
1.
“Immediate post operative
phase”, bila pasien telah sadar dari nekrose.
2.
“Inter mediate phase”, selama
fixatie mandibula-maxillary dalam posisinya.
3.
“Late post operative phase”
termasuk pengambilan mandibular-maxillary fixation, rehabilisasi gigitan,
immobilisasi sendi rahang dan perawatan selanjutnya.
1.
Immediate post operative
phase
Pada suatu rumah sakit yang lengkap disediakan suatu
“intensive care unit” recovery room untuk merawat pasien yang yang dibawa dari
kamar bedah dan dijaga perawat-perawat yang sudah ahli. Pasien dijaga sampai
sadar betul, baru dipindahkan keruangannya kembali.
Jika mandibula-maxillary fixation yang dipakai, maka
sebaiknya diletakan alat-alat seperti tang pemotong kawat sehingga kalau perlu
fiksasi dapat dibuka pada kasus darurat. Demikian juga adanya suktor untuk
mengambil cairan saliva atau darah yang keluar. Disini harus dijaga benar-benar jalan udara agar
tetap lancar. Untuk itu lidah tidak boleh jatuh kebelakang dan juga penumpukan
saliva dan lain-lain.
2.
Intermediate postoperative phase
Perawatan disini ialah selalu
memeriksa keadaan fiksasi apakah masih kuat, dilihat apakah ada oedem yang
hebat.
Pasien dengan fraktura rahang
bawah akan merasa lebih enak dengan posisi duduk. Pencegahan infeksi pada
daerah fraktura dilakukan dengan pemberian antibiotic dan lain-lain selama 4
hari kebersihan mulut harus dijaga, misal dengan memberikan obat-obat kumur. Makanan
pasien dapat diberikan dalam bentuk lunak atau cair.
Pengawasan Umum
Pasien
dengan luka maxillo-facial dan dirawat di rumah sakit harus diperiksa baik-baik
setiap hari.
Fiksasi harus diperiksa apakah
masih baik atau sudah longgar. Pembengkakan yang bertambah di daerah sisi
fraktur atau rasa sakit yang memuncak atau naiknya temperatur tubuh haruslah
mendapat perhatian kita. Pasien dengan fraktur rahang bawah merasa lebih enak
jika dalam keadaan posisi duduk dengan lurus kedepan.
Sedasi/Analgesik
Bila
reduksi dan fiksasi diakukan dengan baik, maka rasa sakit akan terasa sedikit
sehingga analgesik jarang diberikan.
Pemberian analgetik kuat seperti morphin harus
hati-hati karena menyebabkan penekanan pusat pernafasan dan refleks batuk.
Pencegahan terhadap infeksi
Untuk
mencegah terjadinya infeksi, pasien harus kita berikan anti biotika. Karena
mencegah lebih mudah daripada merawatnya.
Kebersihan rongga mulut
Kebersihan rongga mulut mempunyai
peranan penting dalam pencegahan infeksi pada garis fraktur. Pasien yang sadar
kita suruh kumur-kumur. Setiap habis makan dan sesudah mendapat perawatan,
kawat, bar, harus digosok dengan gosok gigi agar tetap bersih. Jika pasien
tidak dapat melakukannya, maka perawat akan atau harus membersihkannya.
Langsung sesudah operasi, saliva pasien cendrung
menjadi kental dan keadaan berlangsung sekitar 24 jam. Pada kedaan ini
sebaiknya mulut selalu dibersihkan dan bibir diolesi atau diminyaki dengan
petrolueum jelly.
Makanan
Kalau
pasien sadar, pasien dapat diberikan makan. Biasanya cairan atau bubur. Apabila
pasien tidak bisa menelan maka dipasang transnasal gastric tube (sonde). Kalori
yang dibutuhkan adalah sekitar 2000-2500kalori.
Pada pasien yang tidak sadar maka harus
diperhatikan cara pemberian makanannya.
Keseimbangan cairan
Pada pasien penderita luka
maxillo facial maka suatu daftar keseimbangan cairan harus dibuat sampai suatu waktu yang memuaskan bahwa “fluid
intake” yang memadai dapat ditelan oleh pasien.
Kebutuhan normal perhari-hari adalah sekitar
3000ml dan out put sekitar 1500ml yang keluar melalui kulit, keringat dan
lai-lain. Sisanya 1500ml lagi keluar melalui urine. Harus selalu dingat bahwa
semua bentuk dari trauma dan operasi menyebabkan suatu gangguan metabolisme
yang kompleks, yang mana dapat langsung terjadi sesuai dengan besar dan durasi
dan trauma atau operasi pada pasien yang tidak bisa menelan karena suatu
fraktur rahang bawah yang hebat, maka dehidrasi dapat terjadi dalam 24-48 jam,
hal ini terutama pada pasien yang sudah tua.
“Parenteral fluid therapy” (pemberian
cairan makanan secara parental)
Cairan
diberikan secara intravenous drip. Selama masa dimana penderita masih susah
makan melalui sonde atau pipet. Kekurangan makan dan cairan dapat dibantu
dengan cairan ini sehingga penderita akan cepat stabil dalam kondisi
penyembuhannya. Selanjutnya makanan diberikan peroral melalui pipet yang
disedot diantara retro molar sehingga semua makanan harus jenis saring,
demikian juga obat-obatan semua digerus.
Pemeriksaan terhadap union dan pengambilan
fiksasi
Terjadinya
union daripada tulang diperiksa dengan cara menggerakan rahang bawah dengan
tangan kanan kiri ditambah dengan permeriksaan rontgent foto. Jika sudah baik,
fiksasi dapat dibuka. Kalau fiksasi dilakukan didalam tulang misal plat,
intraosseus wiring, maka benda tersebut dapat dibiarkan disitu untuk waktu yang
agak lama.
Penyesuaian oklusi
Penyusuaian/perbaikan
kecil daripada oklusi kadang-kadang dibutuhkan. Abnormalitas yang lebih besar
dirawat dengan melakukan grinding daripada cuspis.
Mobilisasi sendi rahang
Sisanya
pasien tidak mengalami kesulitn menggerakan sendi rahang sesudah immobilisasi
daripada rahang bawah. Jadi tidak dibutuhkan perawatan khusus. Tetapi jika
terjadi “intracapsular fracture” atau fraktur pada region kondilar, maka
sebaiknya perawatan dilakukan dengan plat, intraosseus wiring, agar pergerakan
mandibula masih bisa dilakukan.
Anestesi dan parastesi bibir bawah
Jika
n. mandibularis terlibat maka dapat terjadi dalam bentuk neuraphatia (lesi pada
nervus yang menyebabkan paralyse) atau neurotmesis (kerusakan syarat) dan untuk
perbaikannya tergantung daripada berat ringannya kerusakan syarat. Neurophatia
biasanya sembuh sekitar 6 minggu, tetapi neurotmesis dapat mencapai 18 bulan.
Pada kerusakan yang hebat penyembuhan kemungkinan tidak terjadi dan pasien akan
mengeluh akan adanya adanya perobahan terhadap rasa pada daerah tersebut.
Kemungkinan hidupnya gigi yang
rusak
Gigi
yang terkena trauma pada waktu kecelakaan harus diobservasi apakah masih hidup
tau sudah mati karena pulpa yang sudah mati dapat mendatangkan komplikasi yang
terjadi kemudian.
Gingivitis
Pada keadaan dimana kebersihan mulut kurang dijaga maka dapat terjadi
gingivitis. Diajurkan menjaga kebersihan mulut selama perawatan misalnya
menggosok gigi dengan brush yang halus dan pemberian obat kumur.
Ad.3 Late post-operative phase
Periode immobilisasi
tergantung dari kasus dan keadaannya. Pengambilan atau pembukaan dari fiksasi
dapat dilakukan tetapi sebelumnya lakukan testing apakah terjadi union dari
tulang.
Lalu lakukan penyesuaian
oklusi. Pasien disuruh menggerakkan persendiannya, yang mula-mula terasa kaku
dan pasien harus selalu melatihnya hingga normal.
Dilakukan pemeriksaan gigi
yang rusak, apakah masih vital atau tidak. Biasanya penderita mendapat
gingivitis
PENATALAKSANAAN FRAKTUR MANDIBULA
Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula
yaitu cara tertutup/ konservative dan terbuka / pembedahan.
Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan
immobilisasi mandibula dicapai dengan jalan penempatan peralatan fiksasi
maksilomandibular. Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan
pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan memakai
plat atau kawat. Teknik terbuka dan tertutup tidaklah dilakukan sendiri, tetapi
kadang- kadang dikombinasikan.
Pendekatan ketiga, merupakan modifikasi dari
teknik terbuka, yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada teknik fiksasi
skeletal eksternal pin ditelusupkan kedalam kedua segmen untuk memdapatkan
tempat perlekatan alat penghubung (connecting appliance), yang bisa dibuat dari
logam atau akrilik, yang menjembatani bagian yang fraktur dan menstabilkan
segmen tanpa melakukan immobilisasi mandibula. Semua metode perawatan masing-masing
memiliki indikasi, keuntungan da kekurangan. Dasar pemikiran perawatan yang
baik adalah respon fleksibe, yaitu kemauan untuk menggunakan teknik yang ada
(alat alat yang diperlukan ), dengan profesionalitas yang memadai.
1. REDUKSI TERTUTUP
Indikasi : untuk kasus dimana
gigi terdapat pada semua segmen atau segmen edentulus disebelah proksimal denga
pergeseran yang hanya sedikit.
Malleable
arch bars.
Tersedia dalam bentuk gulungan
atau potongan-potongan dengan panjang tertentu. Arch bar dengan mudah dapat
bisa dipasang dengan menggunakan anestesi lokal atau umum, dengan jalan
mengikatkannya dengan gigi menggunakan kawat baja tahan karat ukuran 0,018 atau
0,20 inchi, 0,45 atau 0,5 mm. Kawat diinsersikan melingkari tiap-tiap gigi
(melalui diatas arch bar pada satu sisi dan dibawah arch bar pada sisi yang
lain), ujung-ujung kawat dipilin searah jarum jam. Jika terjadi pergeseran
segmen yang nyata, biasanya diatasi dengan memotong arch bar pada bagian yang
mengalami fraktur, karena apabila bar menjembatani fraktur, maka akan cenderung
memisahkan atau mengganggu segmen-segmennya.
Fiksasi
Fiksasi maksilomandibular
dilakukan dengan menggunakan elastik atau kawat untuk menghubungkan loop (lug)
arch bar atau alat maksilar dan mandibular yang lain. Apabila suatu segmen
mengalami pegeseran yang cukup banyak, maka lakukan immobilisasi segmen yang
pergeserannya lebih sedikit dahulu, kemudian melakukan reduksi dan immobilisasi
segmen yang lain secara digital atau manual. Apabila suatu fraktur belum lam,a
terjadi yakni 72- 96 jam, reduksi biasanya dilakukan dengan manipulasi. Pada
fraktur yang sudah lama terjadi , stabilisasi dari elemen yang tidak bergeser
atau hanya bergeser sedikit, dilakukan pertama kali dengan menggunakan kawat
atau elastik dan kemudian memasang elastik yang cukup kuat tarikannya terhadap
segmen yang pergeserannya lebih banyak. Kawat bersifat pasif. Elastik bersifat
aktif. Elastik yang dikenakan pada gigi yang tidak punya antagonis akan
mengakibatkan ekstrusi atau, pada kasusu yang lebih hebat mengakibatkan gigi
lepas. Semua pasien dengan pengawatan maksilomandibular harus dibekali alat
pemotong kawat yang bis digunakan setiap saat.
Arch bar memberikan daerah
perlekatan untuk fiksasi maksilomandibular, tetapi secara teknik tidak
berfungsi sebagai splint, karena jarang memberikan immobilisasi dan stabilisasi
segmen fraktur dengan baik.
Sistem
eyelet
Pengawatan langsung yang
sering digunakan adalah teknik eyelet (ivy loop).
Caranya :
Kawat dipilinkan satu sama
lain mebentuk loop. Kedua ujung kawat dilewatkan ruang interproksimal dan kawat
tetap di permukaan bukal. Satu ujung dari kawat dilewatkan di sebelah distal
dari gigi distal dan kembalinya melalui atau dibawah loop, sedangkan ujung yang
lain ditelusupkan pada celah interproximal mesial dari gigi mesial. Kedua ujung
alat dipilinkan satu sama lain , dipotong dan dilipat pada aspek mesial gigi
mesial. Akhirnya loop dikencangkan dengan jalan memilinya.
Sistem eyelet tidak rumit dan
mudah dilakukan.
Indikasi : ideal untuk
penanganan kasus yang cepat apabila dilakukan stabilsasi sementara, atau
apabila durasi anastesi umum dikurangi.
Splint
logam / akrilik
Merupakan alat individu yang
ditujukan untuk imobilisasi atau memantu imobilisasi segmen – segmen fraktur.
Pembuatan splint memerlukan bahan cetak, fasilitas laboratorium, dan waktu yang
relatif lama.
Indikasi : apabila terjadi
kehilangan substansi tulang (luka kena tembak) untuk mencegah kolaps atau unutk
mendapatkan kembali panjang lengkung rahang.
Gunning
splint
Fraktur edentulus membawa
problema tersendiri dalam immobilisasi. Apabila mempunyai protesa gigi maka
bisa digunakan untuk fiksasi maksilomandibular. Salah satu cara dengan membuat
lubang pada basisi akrilik di regio interproksimal gigi dari geligi tiruan dan
kemudian dilakukan pengawatan arch bar terhadap basis protesa .
Apabila pasien tidak memakai
geligi tiruan, maka lakukan pencetakan dan buatkan ginning splint yang mirip
basis protesa dengan bite plane dan dilapisi dengan kondisioner jaringan.
Pengawatan
sirkummandibular
Geligi tiruan atau splint
mandibular sering distabilisasi dengan menggunakan 3 pengawatan
sirkummandibular, satu melingkari mandibula pada regio parasimfisis dan dua
pada daerah posterior dari foramen mentale. Kawat – kawat diinsersikan dengan
jarum penusuk (awl) atau metode jarum lurus ganda (double straight needle). Awl
adalah sebuah jarum yang dilengkapi dengan pegangan.
Pada teknik
awl, jarum tersebut ditusukkan pada kulit dibawah mandibula dan muncul pada
dasar mulut. Awl tersebut ditelusupi kawat, ditarik dan dilewatkan pada aspek
bukal mandibula kedalam vestibulum, disini kawat dilepas. Kemudian kawat
dilewatkan diatas geligi tiruan dan ujung-ujungnya dipuntir/ dipilin agar
terjadi stabilisasi.
Pada
teknik jarum lurus ganda, suatu jarum
dilewatkan sebelah lingual dari mandibula , masuk kedasar mulut dan kawat
ditarik. Yang lain diinsersikan dari bagian bukal pada titik insersi sama untuk
menuju ke vestibulum dan kemudian ditarik. Ujunng-ujung kawat tersebut dilewatkan diatas geligi tiruan
kemudian dikencangkan satu sama lain.
Fiksasi
tulang eksternal
Yang sering dioakai aldalah
alat fiksasi bi-phase. Dengan alat ini, pin- pinnya diinsersikan melalui insisi
kutan kedalam tulanh yang sebelumnya dilubangi dengan bur. Pin dimasukkan
melalui korteks bukal dan tulang konselusn dan sedikit tertanam pada tulang
kortiksl lingual. Paling tidsk dua pin untuk tiap- tiap segmen fraktur.
Kemudian pin- pin itu dijembatani dengan bar (dengan memakai klem), dan reduksi
diamati dengan sinar –X. Kemudian bar dignatikan dengan konektor akrilik, yang
bentuknya disesuiakan dengan peralatan khusus.
Fiksasi eksternal untuk
fraktur mandibular memberikan keuntungan dalam mereduksi dan stabilisasi segmen
proksimal yang mengalami pergeseran apabila reduksi terbuka merupakan
kontraindikasi., untuk mencegah kolaps dimana tulang banyak yang hilang.
Reduksi terbuka
Untuk melakukan reduksi terbuka pada fraktur mandibula bisa melalui
kulit atau oral. Antibiotik dan peralatan intraoral yang baik memberikan
dukungan tambahan pada pendekatan peroral. Secara teknis, setiap daerah pada
mandibula dapat dicapai dan dapat dirawat secara efektif secara oral kecuali
pada daerah subkondilar. Walaupun jalan masuk lewat mulut tidak semudah
perkutan, modifikasi pengawatan langsung ( pengawatan tepi atas atau transalveolar
dan transirkumferensial ) menjadikan teknik ini mempunyai keberhasilan tinggi,
dengan rasa sakit dan komplikasi yang minimal. jika digunakan pelat tulang,
pendekatan oral sering dikombinasikan dengan pendekatan perkutan dengan
menggunakan teknik instrumentasi transkutan.
Reduksi tulang peroral
Reduksi tulang peroral dari fraktur mandibula sering dilakukan untuk
mengendalikan frakmen edentulus proksimal yang bergeser. Situasi ini umumnya
pada fraktur yang melalui alveolus gigi molar tiga yang impaksi/erupsi
sebagian. Tindakan dilanjutkan dengan anestesi lokal atau sedasi atau anestesi
mum. Arch bar atau alat fiksasi yang
lain pertama – tama diikatkan pada tempatnya, dan suatu flap envelope mukoperiosteal yang di
modifikasi lebih besar dan terletak
lebih ke arah bukal) di buat untuk jalan masuk ke daerah molar ketiga. Molar
ketiga dikelurkan, biasanya bisa dilakukan dengan mudah dengan menggunakan
elevator dan distraksi anterior dari segmen distal. Lubang unikortikal dibuat
pada dinding alveolar sebelah bukal dari kedua fragmen ,dan sebuah kawat baja
tahan karat ( 0,018 atau 0,020 inch, 0,45 atau 0,5 mm) di telesupkan kedalam
nya. Reduksi diakhiri dengan manipulasi minimal. Stabilitas awal didapatkan
dari banyaknya gerigi fraktur yang mengunci. Ujung – ujung di pilin untuk
mengencangkan segmen pada posisi reduksi. Dan ditempatkan kawat atau elastik
untuk fiksasi maksilo-mandibular. Bagian tersebut di irigasi dengan larytan
saline steril, diperiksa, dan kawat disesuiakan, di potong serta di tekuk.
Penutupan flap dilakukan dengan jahitan kontinu memakai chromic gut 3-0.
Reduksi ini dikatakan berhasil apabila segmen edentulus proksimal yang dapat
digerakan tadi nya bergeser dicekatkan ke frakmen distal /anterior yang sudah
diimbolisasi ( fiksasi maksilomandibular ).
Reduksi terbuka pada
simpisis
Fraktur para simpisis ini dapat dirawat dengan pengawatan
transalveolar pada tepi atas, apabila gigi didekat garis fraktur tidak ada.
Pada situasi tipikal yang lain, fraktur parasimfisis yang bergeser distabilsasi
pada tepi bawah melalui jalan masuk yang diperoleh dengan membuka simfisis.
Flap dibuat dengan menempatkan insisi 3-4 mm dibawah pertemuan mukosa bergerak
dan tidak bergerak. Insisi submukosal dibuat sedemikian rupa sehingga
periosteum diiris di bawah origo m.mentalis. pemisaham periosteum dimulai
dengan elevator periosteal, dan pengelupasan dilakukan dengan tekanan digital
ke arah inferior. Perhatian perlu diarahkan untuk mempertahankan bundel
neurovaskular mentalis, dengan hati – hati menggeser/melindunginya hanya jika
bundel kemungkinan bisa cedera yakni apabila digunakan instrumen putar.lubang
dibuat pada kedua segmen pada tepi bawah, dan sebuah kawat tahan karat ( 0,020
atau 0,022 inch, 0,5 atau 0,55 mm ) dilewatkan, sering dibuat seperti angka 8.
Keuntungan dari teknik bentuk angka 8 ini karena tidak diperlukannya insersi
kawat lingual. Segmen – segmen di atur letaknya dan ujung kawat
dipilin,dipotong , dan dibengkokan. Fiksasi maksilomandibular diakhiri dengan
menempatkan kawat atau elastik yang menghubungkn arch bar atau alat yang lain. Bagian tersebut kemudian diirigasi
denan larutan saline steril, diperiksa, dan ditutup. Kemungkinan terjadinya
dehisensi ( pemisahan) dari garis jahitan bisa dikurangi apabila m.mentalis
terjga dengan baik. Submukosa dan mukosa dijahit dengan chromic gut 3-0 ( atau
polyglycolic acid,Dexon) dengan teknik kontinu sederhana atau matres, pembalut
dengan tekanan di pertahankan untuk mempertahankan posisi jaringan lunak
terhadap tulang sehingga bisa mengurangi pembentukan rongga mati dam hematom.
Pendekatan dari angulus mandibulae dan symphysis mandibulae bisa dimodifikasi
sehingga memungkinkan pembedahan dilakukan pada setiap bagian dari mandibula
bagian anterior, yakni corpus mandibulae dan regio mentalis.
TINDAK LANJUT
Perawatan pendukung pasca
bedah terdiri atas analgesik, dan bila diindikasikan ditambah antibiotik,
aplikasi dingin dan petunjuk diet. Rontgen pasca-reduksi dan pasca-imobilisasi
perlu dilakukan. Reduksi terbuka bisa memperpendek masa fiksasi
maksilomandibular, dan pembukaan percobaan yang dilakukan pada minggu keempat
atau kelima kadang-kadang dilakukan untuk mengetahui derajat kesembuhan klinis,
terutama pada anak yang masih muda. Normalnya,
kawat transoseus untuk stabilisasi segmen tidak dilepas. Jika kawat teraba
di bawah mukosa daerah edentulus yang akan diberi protesa atau terbuka selama
dilakukan bedah praprostetik, kawat harus dilepas. Pelepasan tersebut dilakukan
dengan bantuan anestesi lokal. Pelepasan dilakukan dengan membuat insisi di
atas kawat, kemudian kawat tersebut dibebaskan dan dipotong.
REDUKSI TERBUKA PERKUTAN
Reduksi terbuka perkutan
pada fraktur mandibular diindikasikan apabila reduksi tertutup atau peroral
tidak berhasil, terjadi luka-luka terbuka, atau apabila akan dilakukan graft
tulang seketika. Fraktur subkondilar tertentu dan fraktur yang sudah lama atau
yang mengalami penggabungan yang keliru atau tidak bergabung juga merupakan
indikasi untuk reduksi perkutan terbuka (Gbr. 10-32). Pendekatan terbuka
biasanya dikombinasikan dengan fiksasi maksilomandibular untuk mendapatkan
stabilisasi maksimum dari segmen fraktur. Apabila terjadi luka-luka terbuka,
jalan masuk langsung ke daerah fraktur bisa didapatkan hanya dengan sedikit
modifikasi (Gbr. 10-33). Fraktur pada daerah angulus dan corpus mandibulae
dicarikan jalan masuk melalui diseksi submandibular, misalnya dengan pendekatan
Risdon, dimana insisi ditempatkan sejajar garis tegangan kulit pada daerah
inframandibular. Bagian yang mengalami fraktur dibuka dengan diseksi tumpul dan
tajam, dengan tetap mempertahankan n. mandibularis marginalis cabang dari n.
fascialis. Fraktur symphysis dan parasymphysis mandibulae dirawat dengan
membuat insisi submental. Seperti pada semua reduksi terbuka, pengelupasan
periosteum diusahakan minimal, dan hanya dilakukan pembukaan flap secukupnya
saja untuk jalan masuknya alat. Lubang dibuat pada tepi inferior dari kedua
fragmen, dan kawat baja tahan karat (0,018 atau 0,02 inch, 0,45 atau 0,5 mm)
ditelusupkan. Reduksi dilakukan pertama kali dengan manipulasi dan kemudian
dipertahankan dengan memilinkan kedua ujung kawat transoseus satu sama lain.
Dasar dari teknik stabilisasi konservatif adalah meninggalkan bahan asing
sesedikit mungkin misalnya lebih memilih menggunakan kawat dibanding pelat, dan
memakai kawat sesedikit mungkin. Bagian yang direduksi kemudian diirigasi dan
diamati. Periosteum pertama-tama dirapatkan dengan jahitan chromic gut 2-0 atau
3-0. Selanjutnya luka ditutup lapis demi lapis dan kemudian dipasang pembalut
tekanan, yakni berupa kasa penyerap dengan anyaman serat yang halus, yang
diberi bismuth tribromphenate/petrolatum (Xeroform) dan gulungan pembalut
elastik yang lebarnya 4-5 inch (Kerlix).
PEMASANGAN PELAT TULANG
Jika pasien mengalami
gangguan mental/inkompeten, memiliki gangguan konvulsif yang kurang terkontrol,
atau seorang pemabuk atau pecandu obat bius; jika mobilisasi awal dari
mandibula diinginkan agar dapat mengurangi kemungkinan terjadinya ankilosis
(beberapa fraktur subkondilar); dan untuk fraktur edentulus mandibular
tertentu, reduksi dan imobilisasi kaku dengan pelat tulang (Vitallium,
Titanium) akan sangat bermanfaat. Teknik ini tidak dipilih untuk kasus
kontaminasi yang luas, atau fraktur kominusi yang lebar, dan jika penutupan
primer baik mukosal atau dermal, tidak bisa dicapai. Pada beberapa kasus pelat
tulang bisa dikombinasikan dengan fiksasi maksilomandibular, splinting, atau
fiksasi skeletal eksternal. Dalam
menangani masalah yang sulit ini, pendekatan individual dan orisinil sangat
dibutuhkan. Pembedahan biasanya dilakukan di dalam kamar bedah karena
menggunakan anestesi umum. Bagian yang mengalami fraktur dibuka secara peroral
atau dengan pendekatan submandibular (Risdon) atau submental. Sering digunakan pelat kompresi, dimana bidang insersi
dari sekrup ditempatkan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan penutupan bagian
fraktur secara aktif dan bukannya pasif (pelat
adaptasi) (Gbr. 10-34). Pelat kemudian dikunci dengan memasukkan sekrup
setelah dilakukan reduksi dan diperiksa dengan mengamati oklusinya. Periosteum
kemudian didekatkan satu sama lain dan dilakukan penutupan. Walaupun beberapa
pelat mungkin tetap ditingggal di tempatnya,
tetapi pengeluaran sesudah terjadi penyembuhan dianjurkan oleh
pabrik-pabrik tertentu sehingga diperlukan pembedahan ulang. Pada keadaan
edentulus, pemasangan pelat mungkin mengganggu pembedahan praprostetik atau
rehabilitasi praprostetik. Kegagalan sistem imobilisasi dengan pelat tulang
kebanyakan disebabkan oleh karena ketidakstabilan dan infeksi/osteomielitis.
Pelat tulang merupakan teknik yang relatif sensitif, dan kegagalan
kadang-kadang harus dihadapi oleh seorang ahli bedah.
REDUKSI TERBUKA PADA FRAKTUR SUBKONDILAR
Banyak fraktur subkondilar
mandibular bilateral dan kebanyakan fraktur kondilar pada orang dewasa
memerlukan reduksi terbuka. Pada kasus fraktur subkondilar bilateral, baik
segmen yang pergeserannya paling besar, maupun fragmen yang lebih besar bisa
direduksi sendiri-sendiri atau bersama-sama. Fraktur dislokasi yang parah dan
tidak direduksi sering mengakibatkan cacat permanen. Cacat ini termanifestasi
berupa perubahan rentang gerakan, keterbatasan dan oklusi yang tidak tepat.
Pendekatan pembedahan yang biasanya dilakukan pada regio subkondilar adalah
preaurikular. Insisi vertikal sepanjang 4-5 cm dibuat sebelah anterior dari
kartilago telinga.
Dengan diseksi tumpul dan
tajam yang dilakukan hati-hati untuk melindungi cabang-cabang n. facialis, maka
bisa dicapai daerah yang mengalami fraktur. Segmen fraktur yang mengalami
pergeseran sering terletak pada fossa infratemporalis, yang cenderung menyulitkan
pengembaliannya ke tempat semula. Stabilisasi dilakukan dengan pengawatan
transoseus atau pemasangan pelat (Gbr. 10-35). Fiksasi maksilomandibular
idealnya sudah dipasang di tempatnya sebelum dilakukan penutupan untuk
memastikan bahwa stabilitas fragmen kondilar telah dicapai.
PERAWATAN YANG TERTUNDA
Penatalaksanaan fraktur
yang sudah lama, baik yang umurnya sudah lebih dari 14 hari atau sudah tahunan,
membawa masalah tersendiri. Fraktur yang sudah berumur 14 hari menunjukkan
tahap awal penyembuhan, yakni organisasi beku darah dan proliferasi jaringan
granulasi/jaringan ikat. Beberapa fraktur yang sudah lama, menunjukkan adanya pseudartrosis, yang meliputi
perkembangan kapsula fibrus dan tepi fraktur kortikal yang tidak
tervaskularisasi dengan baik serta tereburnasi.
Fraktur-fraktur jenis ini, paling baik dirawat dengan jalan masuk melalui kutan
dan reduksi terbuka. Bagian yang mengalami fraktur dipersiapkan, yaitu jaringan granulasi dan jaringan fibrous
dibersihkan, dan tepi-tepi fraktur yang sudah lama diperbarui untuk memaparkan
tulang dengan vaskularisasi yang lebih baik. Bila fraktur yang relatif masih
baru sering direduksi dan distabilisasi secara langsung, untuk fraktur yang
sudah lama mungkin diperlukan graft tulang apabila terjadi kehilangan lengkung
rahang yang nyata, atau gangguan oklusi (Gbr. 10-36).
BAB III
PENUTUP
III.1
KESIMPULAN
Trauma dentoalveolar sering lebih
dulu diketahui dan diatasi oleh dokter gigi. Biasanya perwatan dasarnya adalah
secara konservatif, misalnya dengan splint, imobilisasi gigi-gigi yang goyang
dan prosesus alveolaris yang fraktur. Pencabutan dan intervensi terbuka apabila
memungkinkan dihindari.
Diagnosis dan penatalaksanaan
kebanyakan trauma oromaksilofasial, meskipun parah tergantung pada prinsip-prinsip
dasar. Mula-mula dilakukan penelusura riwayat, kemudian pemeriksaan klinis dan
radiografis, dilanjutkan dengan penentuan rencana perawatan. Pada trauma
oromaksilofasial yang tidak sederhana (terkomplikasi) dapat direncanakan
tahapan-tahapan perawatan yang meliputi the outside-inside rule. Jika
kerusakan skeletal diperbaiaki lebih dulu, penyembuhan jaringan lunak tidak
mudah terganggu. Setelah semua prosedur oral telah selesai, dapat disiapkan
penutupan asepsis dari luka-luka pada wajah.
Tindakan bedah pada trauma
oromaksilofasial perlu mengharuskan elemen fraktur, khususnya yang bergigi,
direposisi secara akurat dan sedapat mungkin distabilkan untuk menghindarkan
oklusi yang tidak harmonis pasca bedah. Apa yang baik dilakukan pada tulang
panjang, juga berlaku bagi penutupan luka wajah. Tetapi apa yang baik pada
penutupan luka insisi abdominal tidak dapat diberlakukan jika kosmetik
merupakan tujuan utama.
III.2
SARAN
Penatalaksanaan trauma
oromaksilofasial merupakan perawatan yang penuh tantangan. Untuk dapat bekerja
secara professional dibutuhkan latihan-latihan dan pengalaman.
Perawatan untuk pasien dengan trauma
oromaksilofasial yang baik dapat dicapai dengan pendekatan tim, yakni melalui
kerjasama yang baik dari para spesialis dan subspesialis.
DAFTAR PUSTAKA
Arnus, Suprapti dkk, 1989. Ilmu Bedah Mulut.
Cahaya Sukma: Medan
Pederson W, Gordon. 1996. Buku Ajar Praktis
Bedah Mulut.. EGC: Jakarta
www. PDGI % 20 Online.htm
www. Farmacia % 20 artikel.htm
www. Google.com
0 comments:
Post a Comment