BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Keadaan pathologis yang diderita seseorang tidak jarang dapat terlihat manifestasinya di rongga mulut. Keadaan di dalam rongga mulut, baik keadaan jaringan keras (gigi geligi), jaringan lunak (gusi dan mukosa), serta sekresi dari kelenjar saliva dapat mengalami perubahan.
Keberadaan saliva penting dalam rongga mulut. Jika jumlah sekresi saliva kurang dari normal, maka akan menyebabkan lubrikasi oral berkurang. Hal ini dapat memacu terjadinya infeksi dalam rongga mulut.
Reactive lesions atau lesi reaktif pada penyakit glandula saliva dapat berupa mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia.
I.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia?
2. Apakah etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia?
3. Bagaimanakah penampakan klinis dari lesi mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia?
4. Bagaimanakah penampakan histopatologis untuk lesi mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia?
5. Apakah sajakah diagnosis banding untuk lesi mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia?
6. Bagaimanakah perawatan atau treatment untuk mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia?
I.3 TUJUAN
1. Mengetahui definisi mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia
2. Mengetahui etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia
3. Mengetahui penampakan klinis dari lesi mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia
4. Mengetahui penampakan histopatologis untuk lesi mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia
5. Mengetahui diagnosis banding untuk lesi mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia
6. Mengetahui perawatan atau treatment untuk mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 MUCUS EXTRAVASATION PHENOMENON / MUCOCELE
1. Definisi
Mucocele adalah lesi pada mukosa (jaringan lunak) mulut yang diakibatkan oleh pecahnya saluran kelenjar liur dan keluarnya mucin ke jaringan lunak di sekitarnya. Mucocele bukan kista, karena tidak dibatasi oleh sel epitel. Paling sering terjadi pada bibir bawah (60% pada seluruh kasus), dan dapat terjadi juga di mukosa bukal, anterior lidah, dan dasar mulut. Tempat yang paling sering dijumpai adalah pada bibir bawah serentang kaninus. Mucocele jarang terjadi pada bibir atas, palatum (langit-langit) lunak.
Mucocele biasanya berwarna kebiru-biruan dan mengkilat. Mucocele menyebabkan mengalirnya sekresi saliva dari duktus ke jaringan lunak sekitar yang dibatasi oleh jaringan ikat fibrous. Bila volume kebocoran saliva ini sangat besar (seperti kadang-kadang terjadi glandula sublingualis), maka akan terbentuk ranula pada dasar mulut. Ukuran ranula dapat membesar dan menyebabkan terangkatnya lidah.
2. Etiologi
Umumnya disebabkan oleh trauma lokal, misalnya bibir yang sering tergigit pada saat sedang makan, atau pukulan di wajah. Dapat juga disebabkan karena adanya penyumbatan pada duktus (saluran) kelenjar saliva minor. Mucocele juga dapat disebabkan akibat penggunaan obat-obatan yang menimbulkan efek mengentalkan ludah atau saliva.
Mucocele terjadi karena adanya sumbatan pada duktus kelenjar air liur. Pembengkakan dapat juga terjadi jika duktus kelenjar saliva tersumbat dan saliva mengumpul di dalam saluran. Jika pembengkakan terjadi karena submandibular duct, mucocele tersebut dinamakan ranula. Sebuah ranula mempunyai ukuran yang cukup besar dan muncul di bawah lidah.
Selain itu juga dapat terjadi akibat trauma misalnya bibir sering tergigit secara tidak sengaja, sehingga air liur menjadi tertahan tidak dapat mengalir keluar dan menyebabkan pembengkakan (mucocele).
Mucocele juga dapat terjadi jika kelenjar ludah terluka. Saliva dikeluarkan dari kelenjar ludah melalui saluran kecil yang disebut duktus. Jika salah satu duktus ini terpotong. Hasil sekresi saliva tersebut kemudian mengumpul pada titik yang terpotong tadi dan menyebabkan pembengkakan (mucocele).
3. Gambaran Klinis
Pembengkakan biasanya berbentuk kubah, dengan diameter 1-2 mm hingga lebih. Mucocele paling sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda, namun dapat terjadi di segala usia termasuk bayi yang baru lahir dan orang lanjut usia. Permukaan mukosa dapat terlihat kebiruan dan translusen. Ciri khas lesi ini adalah fluctuant, namun pada beberapa kasus mucocele dapat terasa keras saat dipalpasi. Mucocele dapat hilang timbul, yang kadang-kadang pecah sehingga cairannya keluar. Biasanya mucocele tidak disertai rasa sakit, namun cukup mengganggu terutama pada saat makan dan berbicara. Mucocele yang dangkal bisa pecah sendiri dan mengeluarkan cairan berwarna kekuning-kuningan. Sedangkan mucocele yang lebih dalam bisa bertahan lebih lama.
4. Gambaran Histopatologi
Ektravasasi musin merangsang respon tubuh terhadap inflamasi. Hal ini ditandai dengan adanya perbaikan jaringan ikat. Pada pemeriksaan histologis, terlihat adanya sel neutrofil dan makrofag. Bagian duktus glandula saliva terlihat mengalami dilatasi, sedangkan pada keadaan inflamasi kronis terlihat adanya degenerasi sel acinar dan fibrosis.
5. Diagnosis
Mucocele dapat diagnosis dari riwayat penyakit, keadaan klinis dan dengan cara palpasi. Lesi ini fluktuan, tidak terasa nyeri, dapat terjadi perubahan bentuk permukaan mukosa, benjolan biasanya kecil (berukuran 1 atau 2 cm). Secara klinis terlihat adanya pembengkakan bulat berbatas tegas dan berwarna kuning kebiru-biruan.
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding bagi mucocele meliputi neoplasma glandula saliva (khususnya karsinoma mukoepidermoid) dan neoplasma jaringan lunak (contohnya neurofibroma atau lipoma). Mucocele dapat terjadi juga pada mukosa alveolar ginigiva. Oleh karena itu, kista erupsi dan kista gingival merupakan diagnosis banding bagi mucocele.
7. Perawatan (Treatment)
Mucocele adalah lesi yang tidak berumur panjang, bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa minggu, dan dapat hilang dengan sendirinya. Namun banyak juga lesi yang sifatnya kronik dan membutuhkan pembedahan eksisi. Pada saat di eksisi, dokter gigi sebaiknya mengangkat semua kelenjar liur minor yang berdekatan, dan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk menegaskan diagnosa dan menentukan apakah ada kemungkinan tumor kelenjar liur. Selain dengan pembedahan, mucocele juga dapat diangkat dengan laser.
Eksisi mucocele Mucocele dapat dieksisi dengan memakai modifikasi elips. Setelah anastesi local,dibuat dibuat dua insisi elips yang menembus mukosa,diluar batas dari permukaan lesi. Pada tahap ini,mucocele yang berbentuk seperti kista cenderung menonjol dari jaringan dasar dibawahnya. Dataran antara mucocele dan lapisan muscular atau glandula dapat dengan mudah diindentifikasi, dan lesi dipotong dengan teknik gunting.
Pengambilan glandula mucus asesoris didekatnya dari dasar eksisi akan mengurangi kemungkinan kekambuhan. Penutupan jaringan dilakukan dengan jahitan terputus. Penanganan mucocele dengan cara aspirasi kurang bisa mengatasi masalah,karena lesi akan segera timbul lagi setelah luka pungsi sembuh.
Terkadang mucocele dapat sembuh dengan sendirinya. Akan tetapi, jika dibiarkan tanpa perawatan akan meninggalkan luka parut. Mucocele biasanya harus diangkat, bisa dengan bedah maupun laser. Namun ada kemungkinan pembedahan dapat menyebabkan munculnya mucocele lain.
Beberapa dokter saat ini ada juga yang menggunakan menggunakan injeksi Kortikosteroid sebelum melakukan pembedahan, ini terkadang dapat mengempiskan pembengkakan. Jika berhasil, maka tidak perlu dilakukan pembedahan.
8. Komplikasi
Mucocele biasanya tidak menimbulkan keluhan bila ukurannya kecil. Namun jika besar akan menimbulkan deformitas, penipisan korteks tulang, sehingga timbul fenomena bola pingpong (pingpong phenomenon). Bila terus membesar akan menembus tulang, sehingga akan ditutupi jaringan lunak. Pada saat dipalpasi akan teraba fluktuasi. Bila kista ini terinfeksi akan terasa sakit dan timbul pus (nanah).
II.2 MUCUS RETENTION CYST
1. Definisi
Mucus retention cyst merupakan pembengkakan yang diakibatkan oleh plug mukus dari sialolith atau inflamasi pada mukosa yang menekan duktus glandula saliva minor lalu mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada duktus glandula saliva minor tersebut, yang kemudian terjadi dilatasi akibat cairan mukus yang menggenang dan menumpuk pada duktus glandula saliva.
2. Etiologi
Mucus retention cyst disebabkan oleh plug mukus dari sialolith atau inflamasi pada mukosa yang menekan duktus glandula saliva minor. Hal ini menyebabkan terjadinya penyumbatan pada duktus glandula saliva minor tersebut.
3. Gambaran Klinis
Mucus retention cyst memiliki gambaran klinis yang khas, yaitu massa atau pembengkakan lunak yang berfluktuasi, berwarna translusen kebiruan apabila massa belum begitu dalam letaknya. Kadang-kadang warnanya normal seperti warna mukosa mulut apabila massa sudah terletak lebih dalam, jika dipalpasi pasien tidak sakit.
• SITE : Kista parotid yang berlokasi pada lobus superficial seperti massa fluktuasi.
• Dasar rongga mulut merupakan tempat yang paling sering terjadi.
• Diikuti pada bagian bibir dan mukosa bukal rongga mulut.
4. Gambaran Histopatologis
Lapisan epithel pada kista retensi mucus merupakan epithel berlapis kuboidal atau seperti lapisan epithel kolumnair. Memiliki sitoplasma cell yang jelas atau eosinopilik dan terkadang memperlihatkan diferensiasi mucous. Kista retensi mucus ini 70% berbentuk unilocular dan 30% multilocular.
Mucus retention cyst menunjukkan adanya epithelial lining dan jarang terjadi pada glandula saliva mayor. Ketika hal ini terjadi maka akan tampak bentuk multiple, yakni poly cystic daripada glandula parotis.
5. Perawatan (Treatment)
Perawatan yang dilakukan meliputi penanggulangan faktor penyebab dan pembedahan massa. Penanggulangan faktor penyebab dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya rekurensi. Selanjutnya dilakukan simple eksisi sebagai pembedahan sederhana yang dikarenakan pacahnya kantung kista. Rekurensi jarang terjadi, dan walau bagaimanapun kerusakan yang terjadi berdekatan dengan glandula merupakan bentukan dari mukokel.
II.3 MAXILLARY SINUS RETENTION CYST ATAU PSEUDOCYST
1. Definisi
Pseudocysts adalah suatu kelainan patologis yang melibatkan lapisan antrum maksilaris yang dapat ditemukan pada gambaran radiograf. Lesi ini ditemukan secara kebetulan dan signifikansi klinis yang kecil.
2. Etiologi
Pseudokista diperkirakan timbul dari penyumbatan kelenjar seromucous antral. Penyumbatan ini menghasilkan epitel duktus berlapis dengan struktur kistik diisi dengan musin. Pseudocysts adalah peradangan hasil dari akumulasi cairan dalam membran sinus. Pseudokista mungkin berhubungan dengan infeksi atau alergi, toksin bakteri, anoksia, atau faktor lain yang mungkin menyebabkan kebocoran protein ke jaringan lunak di sekitarnya, sehingga meningkatkan tekanan osmotik ekstravaskuler yang ditandai dengan adanya penambahan kenaikan fluida.
3. Gambaran Klinis
Sebagian besar lesi ini tidak menunjukkan gejala, walaupun beberapa pasien mungkin mengalami nyeri sedikit pada mukobukal fold atau kadang-kadang pada palpasi terjadi pembengkakan bukal pada region ini.
Dalam radiografi panoramik dan periapikal, pseudocysts dari sinus maksilaris memberikan gambaran homogeneously opaque dimana terdapat suatu perlekatan ke dasar antrum dan lesi ini jarang tampak bilateral.
4. Gambaran Histopatologis
Pemeriksaan pseudokista secara histopatologi menunjukkan tidak adanya lapisan epitel, tetapi material mukoid yang mengelilinginya memberikan tekanan ringan pada jaringan ikat.
5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pseudocysts yang timbul dalam mukosa sinus maksilaris yaitu mencakup polip, hyperplasia dari lapisan sinus yang mengalami infeksi odontogenik sekunder, sinusitis maksilaris, dan neoplasma yang timbul dalam jaringan lunak dari lapisan antral.
6. Perawatan (Treatment)
Kista retensi antral dan pseudocysts umumnya tidak diobati karena pertumbuhannya terbatas dan tidak merusak, dan sebagian besar pecah secara spontan. Walaupun begitu obsevasi secara periodic sangatlah dibutuhkan.
II.4 NECROTIZING SIALOMETAPLASIA
1. Definisi
Necrotizing sialometaplasia adalah kondisi jinak yang khususnya menyerang palatum dan jarang pada daerah lain yang mengandung kelenjar ludah. Pengetahuan akan ini penting karena kondisi ini berpotensi untuk menjadi ganas dilihat secara klinis maupun mikroskopis. Tindakan bedah yang sebenarnya tidak diperlukan dilakukan karena kekeliruan diagnosis preoperatif yakni squmous cell carcinoma dan mucoepidermoid carcinoma.
2. Etiologi
Inisiasi necrotizing sialometaplasia diyakini berasal dari iskemi kelenjar ludah yang diawali oleh trauma local, manipulasi bedah, atau anestesi lokal. Kemudian, terjadi infark, dan muncul squamous metaplasia dari sisa duktus. Kondisi ini diyakini disebabkan oleh trauma local atau kompromis vascular fokal sehingga terjadi nekrosis jaringan pada daerah terebut. Pasien bisa saja tidak memiliki riwayat trauma sama sekali.
3. Gambaran Klinis
Gejala klinis intraoral, necrotizing sialometaplasia dicirikan dengan kemunculannya secara spontan, terutama pada pertemuan palatum keras dan palatum lunak. Lesi dapat berupa pembengkakan yang lunak, sering dengan eritem pada mukosanya. Setelahnya, mukosa hancur dan membentuk ulser yang dalam dengan tepi yang tegas dan dasar lobular berwarna abu-abu kekuningan. Pada palatum, lesi ini dapat unilateral maupun bilateral, dengan lesi tunggal berdiameter 1-3 cm. Rasa nyeri tidak sebanding dengan ukuran lesi. Penyembuhan memakan waktu lama, yakni 6-10 minggu.
4. Gambaran Histopatologis
Submukosa di sekitar ulser menunjukkan gambaran nekrosis kelenjar ludah dan squamous metaplasia dari epitel duktus salivarius. Adanya penampakan lobular dari kelenjar ludah membedakan kondisi ini dengan neoplasia. Ductal squamous metaplasia menunjukkan tidak adanya atipia sitologik, namun gambarannya dapat disalahartikan sebagai squamous cell carcinoma. Jika metaplasia terlihat pada kelenjar ludah residual, maka bisa disalahartikan sebagai mucoepidermooid carcinoma.
5. Diagnosis Banding
Secara klinis, dugaan squamous cell carcinoma dan neoplasma kelenjar ludah minor malignan harus disingkirkan, biasanya dengan biopsi. Syphilis gumma dan infeksi jamur juga harus disingkirkan, karena lesinya menunjukkan gambaran punched-out pada palatum. Selain biopsy, dapat juga dengan tes serologi dan kultur jaringan. Pada pasien dengan medically compromised, misalnya pasien dengan diabetes tidak terkontrol, infeksi jamur oportunistik seperti mucormycosis dapat menyebabkan gejala klinis yang mirip.
Subacute necrotizing sialadenitis baru-baru ini dideskripsikan sebagai lesi kondisi peradangan nonspesifik dari kelenjar ludah minor yang etiolognya belum diketahui. Kondisi ini dicirikan oleh timbulnya rasa nyeri dan pembengkakan yang terlokalisasi biasanya pada palatum keras atau palatum lunak. Namun, tidak seperti necrotizing sialometaplasia, kondisi ini dapat sembuh sendiri tanpa menunjukkan adanya komponen metaplastik.
6. Perawatan (Treatment)
Necrotizing sialometaplasia merupakan kondisi yang jinak dan dapat sembuh sendiri sehingga tidak memerlukan intervensi bedah. Namun, harus tetap dilakukan biopsy insisional untuk menegakkan diagnosa. Penyembuhan memakan waktu sampai beberapa minggu. Manajemen penting yang harus dilakukan ialah irigasi dengan obat kumur yang terbuat dari campuran baking soda dan air dan penggunaan analgetika.
II.5 ADENOMATOID HYPERPLASIA
1. Definisi
Adenomatoid hyperplasia adalah pembengkakan pada kelenjar ludah minor. Lokasi tersering biasanya mengenai palatum durum, namun juga dapat mengenai palatum mole, area retromolar pad, mukosa oral, lidah, dan bibir. Adenomatoid hyperplasia merupakan kondisi self limiting dan bersifat jinak.
2. Etiologi
Etiologinya belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga kemungkinan berhubungan dengan trauma pada palatum, kebiasaan merokok, dan pemakaian gigi palsu.
3. Gambaran Klinis
- Lazim diderita oleh laki-laki dengan rentang usia 24-63 tahun
- Secara klinis, terdapat pembengkakan unilateral pada palatum durum atau pada palatum mole ataupun kedua-duanya. Palatum merupakan daerah utama yang terkena adenomatoid hyperplasia glandula saliva. Namun dapat juga mengenai area retromolar pad, mukosa oral, lidah, dan bibir.
- Lesi ini asimptomatik dengan bagian dasar yang luas dan ditutupi oleh mukosa dengan warna dan kualitas normal
- Palpasinya tidak menimbulkan rasa sakit
4. Gambaran Histopatologis
Terdapat lobul-lobul pada mukosa kelenjar yang hiperplastik. Lobul ini meluas sampai melebihi batas submukosa dan masuk ke lamina propria. Pada pemeriksaan sitologis, terlihat adanya elemen acinar dan ductal dalam jumlah normal, dan tidak ditemukan adanya infiltrasi sel radang.
5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk lesi ini antara lain salivary neoplasms, lymphoma, dan extension of nasopharyngeal or sinonasal disease into the oral cavity (perluasan penyakit pada nasofaring atau sinonasal ke rongga mulut).
6. Perawatan (Treatment)
Identifikasi utama lesi ini dilakukan dengan insisi biopsi. Karena lesi ini merupakan lesi self limiting, maka tidak dibutuhkan perawatan. Jika memang akan dilakukan perawatan, perawatan untuk adenomatoid hyperplasia adalah dengan tekhnik eksisi. Lesi ini tidak berpotensi menjadi suatu keganasan.
BAB III
PENUTUP
Keadaan pathologis yang diderita seseorang tidak jarang dapat terlihat manifestasinya di rongga mulut. Keadaan di dalam rongga mulut, baik keadaan jaringan keras (gigi geligi), jaringan lunak (gusi dan mukosa), serta sekresi dari kelenjar saliva dapat mengalami perubahan. Reactive lesions atau lesi reaktif pada penyakit glandula saliva dapat berupa mucus extravasation phenomenon, mucus retention cyst, maxillary sinus retention cyst, necrotizing sialometaplasia, dan adenomatoid hiperplasia.
Mucocele adalah lesi pada mukosa (jaringan lunak) mulut yang diakibatkan oleh pecahnya saluran kelenjar liur dan keluarnya mucin ke jaringan lunak di sekitarnya.
Mucus retention cyst merupakan pembengkakan yang diakibatkan oleh plug mukus dari sialolith atau inflamasi pada mukosa yang menekan duktus glandula saliva minor.
Pseudocysts adalah suatu kelainan patologis yang melibatkan lapisan antrum maksilaris yang dapat ditemukan pada gambaran radiograf. Lesi ini ditemukan secara kebetulan dan signifikansi klinis yang kecil.
Necrotizing sialometaplasia adalah kondisi jinak yang khususnya menyerang palatum dan jarang pada daerah lain yang mengandung kelenjar ludah.
Adenomatoid hyperplasia adalah pembengkakan pada kelenjar ludah minor. Lokasi tersering biasanya mengenai palatum durum, namun juga dapat mengenai palatum mole, area retromolar pad, mukosa oral, lidah, dan bibir. Adenomatoid hyperplasia merupakan kondisi self limiting dan bersifat jinak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Regezi, Sciubba, Jordan. 2003. Oral Pathology Clinical Pathology Correlations Fourth Edition. Elsevier Science (USA): Penerbit Saunder
2. Scully, Crispian. 1999. Handbook of Oral Disease Diagnosis and Management. Penerbit Martin Dunitz
3. M. Som, Peter and S, Margaret Brandwein. 2003. Salivary Glands: Anatomy and Pathology: Mosby inc
4. Robinson, A Robert. 2009. Head and Neck Pathology: Atlas for Histologic and Cytologic Diagnosis.
5. Tjiptoni K.N toeti dkk. 1989. Ilmu Bedah mulut. Medan: Cahaya Sukma
6. Pedersen.W.Gordon. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC
7. Natalia, dkk. 2005. Journal Adenomatoid hyperplasia of mucous salivary glands (Case Report). Spanyol
8. http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/mucocele.pdf
Reactive Lessions
Thursday, January 5, 2012
Posted by Putri Ferina Aprilia at 7:38 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment