Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan pada kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi pada duktus kelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga karena penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu.
Sebagian besar (80% - 90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula (warthon’s duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari sekresi kelenjar saliva. Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi pada duktus submandibula sehingga muncul sialolithiasis.
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Sialolithiasis mengandung bahan organik pada pusat batunya, dan anorganik di permukaannya. Bahan organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dan debris sel. Bahan anorganik yang utama adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Sedangkan ion kalsium, magnesium, dan fosfat sekitar 20-25%. Senyawa kimia yang menyusunnya antara lain mikrokristalin apetit [Ca5(PO4)OH] atau whitlokit [Ca3(PO4)].
Pengamatan dengan menggunakan transmisi mikroskop elektron dan mikroanalisis X – ray pada batu sialolithiasis, mendapatkan gambaran menyerupai struktur mitokondria, lisosom, dan jaringan fibrous. Substansi tersebut diduga sebagai salah satu penyebab proses kalsifikasi dalam sistem duktus submandibula.
Etiologi sialolithiasis belum diketahui secara pasti, beberapa patogenesis dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini. Pertama, adanya ekresi dari intracellular microcalculi ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaan adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke dalam duktus salivary dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini sebagai pemicu nidus organik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan substansi organik dan inorganik.
Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya batu, yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan menurunnya sintesis glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan membran sel akibat proses penuaan.
DIAGNOSIS KLINIS
Pada obstruksi parsial kadang-kadang sialolithiasis tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatis). Nyeri dan pembengkakkan kelenjar yang bersifat intermitten merupakan keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul berhubungan dengan selera makan (mealtime syndrome). Pada saat selera makan muncul sekresi saliva meningkat, sedangkan drainase melalui duktus mengalami obstruksi sehingga terjadilah stagnasi yang menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan kelejar.
Stagnasi yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpai sekret yang supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadang-kadang juga timbul gejala infeksi sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi pada kelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi, dan akhirnya terjadi proses fibrosis.
Palpasi bimanual di dasar mulut arah posterior ke anterior sering mendapatkan calculi pada duktus submandibula, juga dapat meraba pembesaran duktus dan kelenjar. Perabaan ini juga berguna untuk mengevaluasi fungsi kelenjar saliva (hypo- functionalatau non-functional gland)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Radiologis, Imaging
Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva antara lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CT- Scan), Sialography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound, dan Nuclear Scintigraphy. Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan tertentu dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri, bengkak dan keluhan lainnya yang berkaitan dengan gangguan kelenjar saliva, seperti pada Sialolithiasis Submandibula.
b. Endoskopis
Endoskopi yang dikenal dengan Sialendoskopi merupakan prosedur noninvasif yang dapat mengeksplorasi secara lengkap sistem duktus, termasuk cabang sekunder dan tersier duktus. Sialendoskopi dapat dilakukan di klinik rawat jalan dengan menggunakan anestesi lokal lidocain 2% dimana pasien duduk di kursi atau setengah berbaring. Fungsi utama Sialendoskopi untuk konfirmasi sekaligus diagnosis obstruksi dan striktur sistem duktus serta pengambilan sialolith. Pada prinsipnya Sialendoskopi dilakukan dengan memasukkan sistem semirigid ke intraluminar duktus melalui caruncula sublingualis. Diameter Sialendoskop yang sering digunakan antara 0.8 mm - 1,6 mm. Visualisasi intraluminar dan kondisi patologis dapat diamati secara langsung.
Selain diagnostik, metode ini bisa melakukan prosedur intervensi seperti dilatasi progresif, pembersihan dan pembilasan, serta pengambilan batu dengan forcep maupun laser fragmentation. Indikasi penggunaannya pada semua pembengkakan dan nyeri intermitten pada kelenjar atau duktus saliva yang belum diketahui sebabnya. Tidak ada kontra indikasi mutlak termasuk pada anak maupun manula, karena selain minimal invasif Sialendoskopi hanya membutuhkan anestesi lokal dan cukup rawat jalan saja.
Pada keadaan tertentu Sialendoskopi dapat menimbulkan komplikasi lesi pada saraf yang menimbulkan parastesi (0,4%), terjadi infeksi (1,6%), perdarahan (0,5%), dan kerusakan sistem duktus seperti striktur (2,5%).
TERAPI
a. Tanpa pembedahan
Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan antibiotik dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara spontan.Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa terutama bila berada di bagian posterior Warton’s duct, sehingga pendekatan konservatif sering diterapkan.
b. Pembedahan
Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan, terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10 mm), atau lokasi yang sulit.
Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa dilakukan tindakan simple sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukan diseksi pada duktus dengan menghindari injury pada n. lingualis. Hal ini bisa dilakukan dengan anestesi lokal maupun general, tapi sering menimbulkan nyeri berat post operative. Harus dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi batu berada pada gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan submaxilectomy dengan tingkat kesulitan yang tinggi, karena harus menghindari cabang-cabang dari n. facialis.
c. Minimal invasif
- Lithotripsi
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup efektif pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing dan pankreas, ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulai tahun 1990- an. Tujuan ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang kecil sehingga tidak mengganggu aliran seliva dan mengurangi simptom. Diharapkan juga fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva
Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur n. facialis. Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan merupakan kontra indikasi, sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagic diathesis), kelainan kardiologi, dan pasien dengan pacemaker merupakan kontraindikasi umum ESWL.
Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan anestesia, pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position) seperti terlihat pada Gb.(a). Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan kedalaman 20mm sehingga lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan dengan batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 – 30 mPa. Tembakan dilakukan 120 impacts per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar 1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal satu bulan.
Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi. Ketepatan posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography, echography probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi fragmen.
Beberapa penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up atas keberhasilan penggunaan ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasus dimana 68% pasien terbebas dari simptom setelah difollow up selama 3 tahun, Cappaccio et al dengan 322 kasus melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom setelah diamati 5 tahun sejak pengoabatan menggunakan ESWL.
- Sialendoskopi
Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar saliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi, striktur, dan sialolith. Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopi merupakan complete exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabang sekunder dan tersier.
Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopi adalah semua pembengkakan intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelas asalnya. Koch et al lebih khusus menjelaskan indikasinya, antara lain untuk 1) deteksi sialolith yang samar, 2) deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan profilaksis pembentukan batu, 3) pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain, 4) deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi, 5) diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelaianan autoimun yang melibatkan kelenjar saliva, 6) sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi. Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasive yang hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-anak, dewasa maupun usia lanjut.
- Teknik Intervensi Sialendoskopi.
Sialendoskopi dilakukan dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjar diinjeksi dengan bahan anestesi (xylocaine 1% dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan bertahap dengan probe yang bertambah besar sampai sesuai dengan diameter sialendoskop. Kemudian sialendoskop dimasukkan ke dalam duktus kelenjar saliva diikuti pembilasan dengan cairan isotonik melalui probe. Pembilasan ini dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar saliva ini dioservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe tidak bisa masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding duktus.
Bila didapatkan obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya. Untuk pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar submandibula atau < 3mm pada klenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke sialolith kemudian kita masukkan ke dalam working chanel sebuah forsep penghisap yang fleksibel dengan diameter 1 mm atau stone extractor (wire basket forcep). Berikutnya batu dihisap dan sialendoskop ditarik dengan forcep penghisapnya.
Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser helium ke dalam working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Kemudian bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama. Sedangkan pada kasus mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan pembilasan dan penghisapan.
Setelah intervensi Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktus submandibula menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu dengan tujuan 1) menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitar orifisium, dan 3) sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva. Pemberian hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah striktur juga dapat mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi.
d. Decision Tree
Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik maupun terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksi pada saluran kelenjar saliva.
Algoritma pada Gambar dibawah ini menjelaskan bahwa pada kasus dengan gejala pembengkakan berulang pada kelenjar saliva yang berhubungan dengan selera makan, dapat menggunakan sialendoskopi atau MR sialografi sebagai pilihan modalitas diagnostik. Sialendoskopi merupakan pilihan utama pada pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada kasus kelenjar bilateral direkomendasikan untuk menggunakan MR silaografi untuk melihat tekstur kelenjar, jaringan sekitar, dan sistem duktus beberapa kelenjar.
Gb. Decision Tree untuk Evaluasi dan Managemen Sislolithiasis
(Diambil dari: Arch Otolaryngol Head Neck Surg/vol 129, Sep 2003)
Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm parotis) maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu dengan ukuran > 4 mm submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus dipecah menjadi bagian yang lebih kecil menggunakan Laser Lithotripsy kemudian dikeluarkan dengan Wire Basket Extraxion. Sedangkan stenosis pada sistem duktus cukup dilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator (main duct) atau dengan balloon catheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus.
KOMPLIKASI
Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain: 1) kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus 2) perdarahan post operative, 3) striktur sistem duktal, 4) pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri, 5) cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal therapy, dan 6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.
Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.
Sialolithiasis
Tuesday, December 27, 2011
Posted by Putri Ferina Aprilia at 7:47 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment